MAKALAH
HAK DAN KEWAJIBAN ASASI MANUSIA
Istilah hak-hak asasi manusia dalam
beberapa bahasa asing dikenal dengan sebutan sebagai berikut : droit de l’home
(Perancis) yang berarti hak manusia, human right (Inggris) antau mensen rechten
(Belanda), yang dalam bahasa Indonesia disalin menjadi hak-hak kemanusiaan atau
hak-hak asasi manusia.
Karena HAM itu bersifat kodrati,
sebenarnya ia tidak memerlukan legitimasi yuridis untuk pemberlakuannya dalam
suatu sistem hukum nasional maupun internasional. Sekalipun tidak ada
perlindungan dan jaminan konstitusional terhadap HAM, hak itu tetap eksis dalam
setiap diri manusia. Gagasan HAM yang bersifat teistik ini diakui kebenarannya
sebagai nilai yang paling hakiki dalam kehidupan manusia. Namun karena sebagian
besar tata kehidupan manusia bersifat sekuler dan positivistik, maka eksistensi
HAM memerlukan landasan yuridis untuk diberlakukan dalam mengatur kehidupan
manusia
Perjuangan dan perkembangan hak-hak
asasi manusia di setiap negara mempunyai latar belakang sejarah
sendiri-sendiri sesuai dengan perjalanan hidup bangsanya, meskipun demikian
sifat dan hakikat HAM di mana-mana pada dasarnya sama juga.
A.
Pembentukan HAM di Indonesia
Berbeda dengan di Inggris dan Perancis
yang mengawali sejarah perkembangan dan perjuangan hak asasi manusianya dengan
menampilkan sosok pertentangan kepentingan antara kaum bangsawan dan rajanya
yang lebih banyak mewakili kepentingan lapisan atas atau golongan tertentu
saja. Perjuangan hak-hak asasi manusia Indonesia mencerminkan bentuk
pertentangan kepentingan yang lebih besar, dapat dikatakan terjadi sejak masuk
dan bercokolnya bangsa asing di Indonesia dalam jangka waktu yang lama.
Sehingga timbul berbagai perlawanan dari rakyat untuk mengusir penjajah.
Dengan demikian sifat perjuangan dalam
mewujudkan tegaknya HAM di Indonesia itu tidak bisa dilihat sebagai
pertentangan yang hanya mewakili kepentingan suatu golongan tertentu saja,
melainkan menyangkut kepentingan bangsa Indonesia secara utuh. Hal ini tidak
berarti bahwa sebelum bangsa Indonesia mengalami masa penjajahan bangsa asing,
tidak pernah mengalami gejolak berupa timbulnya penindasan manusia atas
manusia. Pertentangan kepentingan manusia dengan segala atributnya (sebagai
raja, penguasa, bangsawan, pembesar dan seterusnya) akan selalu ada dan timbul
tenggelam sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Hanya saja di bumi
Nusantara warna pertentangan-pertentangan yang ada tidak begitu menonjol dalam
panggung sejarah, bahkan sebaliknya dalam catatan sejarah yang ada berupa
kejayaan bangsa Indonesia ketika berhasil dipersatukan di bawah panji-panji
kebesaran Sriwijaya pada abad VII hingga pertengahan abad IX, dan kerajaan
Majapahit sekitar abad XII hingga permulaan abad XVI
Hingga kemudian diskursus tentang HAM
memasuki babakan baru, pada saat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) yang bertugas menyiapkan rancangan UUD pada tahun 1945,
dalam pembahasan-pembahasan tentang sebuah konstitusi bagi negara yang akan
segera merdeka, silang selisih tentang perumusan HAM sesungguhnya telah muncul.
Di sana terjadi perbedaan antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dan
Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin di pihak lain. Pihak yang pertama menolak
dimasukkannya HAM terutama yang individual ke dalam UUD karena menurut mereka
Indonesia harus dibangun sebagai negara kekeluargaan. Sedangkan pihak kedua
menghendaki agar UUD itu memuat masalah-masalah HAM secara eksplisit
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan,
tanggal 18 Agustus 1945, Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
mengadakan sidang untuk mengesahkan UUD 1945 sebagai UUD negara Republik
Indonesia. Dengan demikian terwujudlah perangkat hukum yang di dalamnya memuat
hak-hak dasar/asasi manusia Indonesia serta kewajiban-kewajiban yang bersifat
dasar/asasi pula. Seperti yang tertuang dalam Pembukaan, pernyataan mengenai
hak-hak asasi manusia tidak mendahulukan hak-hak asasi individu, melainkan
pengakuan atas hak yang bersifat umum, yaitu hak bangsa. Hal ini seirama dengan
latar belakang perjuangan hak-hak asasi manusia Indonesia, yang bersifat
kebangsaan dan bukan bersifat individu.
Sedangkan istilah atau perkataan hak
asasi manusia itu sendiri sebenarnya tidak dijumpai dalam UUD 1945 baik dalam
pembukaan, batang tubuh, maupun penjelasannya. Istilah yang dapat ditemukan
adalah pencantuman dengan tegas perkataan hak dan kewajiban warga negara, dan
hak-hak Dewan Perwakilan Rakyat. Baru setelah UUD 1945 mengalami perubahan atau
amandemen kedua, istilah hak asasi manusia dicantumkan secara tegas.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia
pernah mengalami perubahan konstitusi dari UUD 1945 menjadi konstitusi RIS
(1949), yang di dalamnya memuat ketentuan hak-hak asasi manusia yang tercantum
dalam Pasal 7 sampai dengan 33. Sedangkan setelah konstitusi RIS berubah
menjadi UUDS (1950), ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia dimuat dalam
Pasal 7 sampai dengan 34. Kedua konstitusi yang disebut terakhir dirancang oleh
Soepomo yang muatan hak asasinya banyak mencontoh Piagam Hak Asasi yang
dihasilkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu The Universal Declaration of human
Rights tahun 1948 yang berisikan 30 Pasal.
Dengan Dekrit Presiden RI tanggal 5 juli
1959, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku lagi dan UUDS 1950 dinyatakan tidak
berlaku. Hal ini berarti ketentuan-ketentuan yang mengatur hak-hak asasi
manusia Indonesia yang berlaku adalah sebagaimana yang tercantum dalam UUD
1945. Pemahaman atas hak-hak asasi manusia antara tahun 1959 hingga tahun 1965
menjadi amat terbatas karena pelaksanaan UUD 1945 dikaitkan dengan paham
NASAKOM yang membuang paham yang berbau Barat. Dalam masa Orde Lama ini banyak
terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang
suasananya diliputi penuh pertentangan antara golongan politik dan puncaknya
terjadi pemberontakan G-30-S/PKI tahun 1965. Hal ini mendorong lahirnya Orde Baru
tahun 1966 sebagai koreksi terhadap Orde Lama. Dalam awal masa Orde baru pernah
diusahakan untuk menelaah kembali masalah HAM, yang melahirkan sebuah rancangan
Ketetapan MPRS, yaitu berupa rancangan Pimpinan MPRS RI No. A3/I/Ad Hoc
B/MPRS/1966, yang terdiri dari Mukadimah dan 31 Pasal tentang HAM. Namun
rancangan ini tidak berhasil disepakati menjadi suatu ketetapan.
Kemudian di dalam pidato kenegaraan
Presiden RI pada pertengahan bulan Agustus 1990, dinyatakan bahwa rujukan
Indonesia mengenai HAM adalah sila kedua Pancasila “Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab” dalam kesatuan dengan sila-sila Pancasila lainnya. Secara historis
pernyataan Presiden mengenai HAM tersebut amat penting, karena sejak saat itu
secara ideologis, politis dan konseptual HAM dipahami sebagai suatu
implementasi dari sila-sila Pancasila yang merupakan dasar negara dan pandangan
hidup bangsa Indonesia. Meskipun demikian, secara Ideologis, politis dan
konseptual, sila kedua tersebut agak diabaikan sebagai sila yang mengatur HAM,
karena konsep HAM dianggap berasal dari paham individualisme dan liberalisme
yang secara ideologis tidak diterima.
Perkembangan selanjutnya adalah dengan
dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) berdasarkan
Keputusan Presiden RI No. 50 Tahun 1993 tanggal 7 Juni 1993. Pembentukan KOMNAS
HAM tersebut pada saat bangsa Indonesia sedang giat melaksanakan pembangunan,
menunjukkan keterkaitan yang erat antara penegakkan HAM di satu pihak dan
penegakkan hukum di pihak lainnya. Hal ini senada dengan deklarasi PBB tahun
1986, yang menyatakan HAM merupakan tujuan sekaligus sarana pembangunan.
Keikutsertaan rakyat dalam pembangunan bukan sekedar aspirasi, melainkan kunci
keseluruhan hak asasi atas pembangunan itu sendiri. Dan menjadi tugas
badan-badan pembangunan internasional dan nasional untuk menempatkan HAM
sebagai fokus pembangunan.
Guna lebih memantapkan perhatian atas
perkembangan HAM di Indonesia, oleh berbagai kalangan masyarakat (organisasi
maupun lembaga), telah diusulkan agar dapat diterbitkannya suatu Ketetapan MPR
yang memuat piagam hak-hak asasi Manusia atau Ketetapan MPR tentang GBHN yang
didalamnya memuat operasionalisasi daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban
asasi manusia Indonesia yang ada dalam UUD 1945.
Akhirnya ketetapan MPR RI yang
diharapkan memuat secara adanya HAM itu dapat diwujudkan dalam masa Orde
Reformasi, yaitu selama Sidang Istimewa MPR yangberlangsung dari tanggal 10
sampai dengan 13 November 1988. Dalam rapat paripurna ke-4 tanggal 13 November
1988, telah diputuskan lahirnya Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1988 tentang Hak
Asasi Manusia. Kemudian Ketetapan MPR tersebut menjadi salah satu acuan dasar
bagi lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang disahkan pada
tanggal 23 september 1999.
Undang-Undang ini kemudian diikuti
lahirnya Perpu No. 1 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dan
ditetapkan menjadi UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Sebagai bagian dari HAM, sebelumnya
telah pula lahir UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat Di Muka Umum yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 26
oktober 1998, serta dimuat dalam LNRI Tahun 1999 No. 165.
Di samping itu, Indonesia telah
merativikasi pula beberapa konvensi internasional yang mengatur HAM, antara
lain:
¶
Deklarasi tentang Perlindungan dan
Penyiksaan, melalui UU No. 5 Tahun 1998.
¶
Konvensi mengenai Hak Politik
Wanita 1979, melalui UU No. 68 Tahun 1958.
¶
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap wanita, melalui UU No. 7 Tahun 1984.
¶
Konvensi Perlindungan Hak-Hak Anak,
melalui Keppres No. 36 Tahun 1990.
¶
Konvensi tentang Ketenagakerjaan,
melalui UU No. 25 Tahun 1997, yang pelaksanaannya ditangguhkan sementara.
¶
Konvensi tentang Penghapusan Bentuk
Diskriminasi Ras Tahun 1999, melalui UU No. 29 Tahun 1999.
B.
Perkembangan HAM di Indonesia
a.
Periode Sebelum Kemerdekaan ( 1908 –
1945 ) Boedi Oetomo.
Dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin
Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan
pendapat melalui petisi – petisi yang dilakukan kepada pemerintah kolonial
maupun dalam tulisan yang dalam surat kabar goeroe desa. Bentuk pemikiran HAM
Boedi Oetomo dalam bidang hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat.
¶
Perhimpunan Indonesia
Lebih menitikberatkan pada hak untuk
menentukan nasib sendiri.
¶
Sarekat Islam
Menekankan
pada usaha – usaha unutk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari
penindasan dan deskriminasi rasial.
¶
Partai Komunis Indonesia
Sebagai
partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada hak – hak yang
bersifat sosial dan menyentuh isu – isu yang berkenan dengan alat produksi.
¶
Indische Partij
Pemikiran
HAM yang paling menonjol adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta
mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan.
¶
Partai Nasional Indonesia
Mengedepankan pada hak untuk memperoleh
kemerdekaan.
¶
Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia
Menekankan pada hak politik yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk
menentukan nasib sendiri, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan di muka
hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan Negara. Pemikiran HAM sebelum
kemerdekaan juga terjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI antara Soekarno dan
Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada pihak lain.
Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan
masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak
berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan tulisan
dan lisan.
b.
Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 –
sekarang ) Periode 1945 – 1950
Pemikiran HAM pada periode awal
kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat
melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk untuk
menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat
legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk kedalam
hukum dasar Negara ( konstitusi ) yaitu, UUD 45. komitmen terhadap HAM pada
periode awal sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1
November 1945.Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk
mendirikan partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah
tanggal 3 November 1945.
c.
Periode
1950 – 1959
Periode 1950 – 1959 dalam perjalanan
Negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode Demokrasi Parlementer.
Pemikiran HAM pada periode ini menapatkan momentum yang sangat membanggakan,
karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi
parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan
oleh Prof. Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami
“ pasang” dan menikmati “ bulan madu “ kebebasan. Indikatornya menurut ahli
hukum tata Negara ini ada lima aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai –
partai politik dengan beragam ideologinya masing – masing. Kedua, Kebebasan
pers sebagai pilar demokrasi betul – betul menikmati kebebasannya. Ketiga,
pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana
kebebasan, fair ( adil ) dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan
perwakilan rakyat resprentasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan
kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif
terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim
yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang
kebebasan.
d.
Periode 1959 – 1966
Pada periode ini sistem pemerintahan
yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan
Soekarno terhaap sistem demokrasi Parlementer. Pada sistem ini ( demokrasi
terpimpin ) kekuasan berpusat pada dan berada ditangan presiden. Akibat dari
sistem demokrasi terpimpin Presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik
pada tataran supratruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur poltik.
Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi masyarakat yaitu
hak sipil dan dan hak politik.
e.
Periode 1966 – 1998
Setelah terjadi peralihan pemerintahan
dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk menegakkan HAM.Pada masa awal
periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar
tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang
perlunya pembentukan Pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM
untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada pada tahun 1968 diadakan seminar Nasional
Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materil ( judical review )
untuk dilakukan guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka pelaksanan TAP
MPRS No. XIV/MPRS 1966 MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan
yang akan dituangkan dalam piagam tentang Hak – hakAsasiManusiadanHak – hak
serta KewajibanWarga negara. Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an
sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM mengalami kemunduran, karena HAM
tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemerintah pada periode ini
bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif
terhadap HAM. Sikap defensif pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM
adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai –nilai luhur
budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila serta bangsa Indonesia sudah
terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang
terlebih dahulu dibandingkan dengan deklarasi Universal HAM. Selain itu sikap
defensif pemerintah ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali
digunakan oleh Negara – Negara Barat untukmemojokkan.
Negara yang sedang berkembang seperti
Indonesia.Meskipun dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan
kemunduran, pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode ini terutama
dikalangan masyarakat yang dimotori oleh LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat ) dan
masyarakat akademisi yang concern terhadap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan
oleh masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait
dengan pelanggaran HAM yang terjadi seprtikasus Tanjung Priok, kasus Keung
Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya.Upaya yang
dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an Nampak memperoleh hasil
yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari represif
dan defensive menjadi ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan
dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan
penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM
) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993. Lembaga ini
bertugas untuk memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM, serta member pendapat,
pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM.
f.
Periode 1998 – sekarang
Pergantian rezim pemerintahan pada tahun
1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di
Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan
pemerintah orde baru yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan
HAM.Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang – undangan yang
berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan
kemasyarakatan di Indonesia. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan
banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan
penegakan HAM diadopsi dari hokum dan instrument Internasional dalam bidang
HAM.
Strategi penegakan HAM pada periode ini
dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap status penentuan dan tahap penataan
aturan secara konsisten. Pada tahap penentuan telah ditetapkan beberapa
penentuan perundang–undangan tentang HAM seperti amandemen konstitusi Negara (
Undang–undangDasar 1945 ), ketetapan MPR ( TAP MPR ), Undang – undang (UU),
peraturan pemerintah dan ketentuan perundang–undangan lainnya.
C.
Penegakan HAM di Indonesia
Tegaknya HAM selalu mempunyai hubungan
korelasional positif dengan tegaknya negara hukum. Sehingga dengan dibentuknya
KOMNAS HAM dan Pengadilan HAM, regulasi hukum HAM dengan ditetapkannya UU
No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 serta dipilihnya para hakim ad hoc,
akan lebih menyegarkan iklim penegakkan hukum yang sehat. Artinya kebenaran
hukum dan keadilan harus dapat dinikmati oleh setiap warganegara secara
egaliter. Disadari atau tidak, dengan adanya political will dari pemerintah
terhadap penegakkan HAM, hal itu akan berimplikasi terhadap budaya politik yang
lebih sehat dan proses demokratisasi yang lebih cerah. Dan harus disadari pula
bahwa kebutuhan terhadap tegaknya HAM dan keadilan itu memang memerlukan proses
dan tuntutan konsistensi politik. Begitu pula keberadaan budaya hukum dari
aparat pemerintah dan tokoh masyarakat merupakan faktor penentu (determinant)
yang mendukung tegaknya HAM.
Kenyataan menunjukkan bahwa masalah HAM
di indonesia selalu menjadi sorotan tajam dan bahan perbincangan terus-menerus,
baik karena konsep dasarnya yang bersumber dari UUD 1945 maupun dalam realita
praktisnya di lapangan ditengarai penuh dengan pelanggaran-pelanggaran.
Sebab-sebab pelanggaran HAM antara lain adanya arogansi kewenangan dan
kekuasaan yang dimiliki seorang pejabat yang berkuasa, yang mengakibatkan sulit
mengendalikan dirinya sendiri sehingga terjadi pelanggaran terhadap hak-hak
orang lain.
Terutama dalam kurun waktu sepuluh tahun
terakhir ini, issue mengenai HAM di Indonesia bergerak dengan cepat dan dalam
jumlah yang sangat mencolok. Gerak yang cepat tersebut terutama karena memang
telah terjadi begitu banyak pelanggaran HAM, mulai dari yang sederhana sampai
pada pelanggaran HAM berat (gross human right violation). Di samping itu juga
karena gigihnya organisasi-organisasi masyarakat dalam memperjuangkan pemajuan
dan perlindungan HAM.
Pelanggaran HAM yang berat menurut Pasal
7 UU No. 26 Tahun 2000 meliputi kejahatan genocide (the crime of genocide)
dan kejahatan terhadap kemanusiaan(crime against humanity). Kejahatan
genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
¶
Membunuh anggota kelompok.
¶
Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental
yang berat terhadap anggota-anggota kelompok.
¶
Menciptakan kondisi kehidupan kelompok
yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya.
¶
Memaksakan tindakan-tindakan yang
bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok.
¶
Memindahkan secara paksaan anak-anak
dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
¶
Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan
adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang
meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan,
pemusnahan, perbudakan, pengusiran, perampasan kemerdekaan, penyiksaan,
perkosaan, penganiayaan, penghilangan orang secara paksa dan kejahatan
apartheid
Munculnya berbagai kasus pelanggaran HAM
berat telah melahirkan kesadaran kolektif tentang perlunya perlindungan HAM
melalui instrumen hukum dan kinerja institusi penegak hukumnya. Banyak
kasus-kasus pelanggaran HAM berat atau yang mengandung unsur adanya
pelanggaran HAM yang selama ini tidak tersentuh oleh hukum, sebagai akibat dari
bergulirnya reformasi secara perlahan tapi pasti mulai diajukan ke lembaga
peradilan. Lembaga peradilan, dalam hal ini Pengadilan HAM, merupakan forum
paling tepat untuk membuktikan kebenaran tuduhan-tuduhan adanya
pelanggaran HAM di Indonesia. Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 secara
tegas menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk
Pengadilan HAM di lingkungan Peradilan Umum. Hukum acara yang berlaku
atas perkara pelanggaran HAM yang berat menurut Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000,
dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana, kecuali ditentukan lain
dalam Undang-Undang ini.
Dibentuknya Pengadilan HAM di Indonesia
patut disambut gembira, karena diharapkan dapat meningkatkan citra baik
Indonesia di mata internasional, bahwa Indonesia mempunyai komitmen dan
political will untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat.
Seiring dengan itu upaya penegakkan HAM di Indonesia diharapkan mengalami
peningkatan yang cukup signifikan.
D.
Contoh-Contoh Kasus Pelanggaran HAM
1)
Terjadinya penganiayaan pada praja STPDN
oleh seniornya dengan dalih pembinaan yang menyebabkan meninggalnya Klip Muntu
pada tahun 2003.
2)
Dosen yang malas masuk kelas atau malas
memberikan penjelasan pada suatu mata kuliah kepada mahasiswa merupakan
pelanggaran HAM ringan kepada setiap mahasiswa.
3)
Para pedagang yang berjualan di trotoar
merupakan pelanggaran HAM terhadap para pejalan kaki, sehingga menyebabkan para
pejalan kaki berjalan di pinggir jalan sehingga sangat rentan terjadi
kecelakaan.
4)
Orang tua yang memaksakan kehendaknya
agar anaknya masuk pada suatu jurusan tertentu dalam kuliahnya merupakan
pelanggaran HAM terhadap anak, sehingga seorang anak tidak bisa memilih jurusan
yang sesuai dengan minat dan bakatnya.
5)
Kasus Babe yang telah membunuh anak-anak
yang berusia di atas 12 tahun, yang artinya hak untuk hidup anak-anak tersebut
pun hilang.
6)
Masyarakat kelas bawah mendapat
perlakuan hukum kurang adil, bukti nya jika masyarakat bawah membuat suatu kesalahan
misalkan mencuri sendal proses hukum nya sangat cepat, akan tetapi jika
masyarakat kelas atas melakukan kesalahan misalkan korupsi, proses hukum nya
sangatlah lama.
7)
Kasus Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang
bekerja di luar negeri mendapat penganiayaan dari majikannya.
8)
Kasus pengguran anak yang banyak
dilakukan oleh kalangan muda mudi yang kawin diluar nikah.
9)
Kasus Tanjung Priok terjadi tahun 1984
antara aparat dengan warga sekitar yang berawal dari masalah SARA dan unsure
politis. Dalam peristiwa ini diduga terjadi pelanggaran HAM dimana terdapat
ratusan korban meninggal dunia akibat kekerasan dan penembakan.
10) Peristiwa
yang terjadi di Aceh sejak tahun 1990 telah banyak memakan korban, baik dari
pihak aparat maupun penduduk sipil yang tidak berdosa. Peristiwa Aceh diduga
dipicu oleh unsure politik dimana terdapat pihak-pihak tertentu yang
menginginkan Aceh merdeka.
11) Telah
terjadi peristiwa penghilangan orang secara paksa (penculikan) terhadap para
aktivis yang menurut catatan Kontras ada 23 orang (1 orang meninggal, 9 orang
dilepaskan, dan 13 orang lainnya masih hilang).
12) Kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia menjelang dan pasca jejak pendapat 1999 di Timor
Timur secara resmi ditutup setelah penyerahan laporan komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) Indonesia – Timor Leste kepada dua kepala negara terkait.
13) Peristiwa
yang terjadi di Ambon (1999) berawal dari masalah sepele yang merambat
kemasalah SARA, sehingga dinamakan perang saudara dimana telah terjadi
penganiayaan dan pembunihan yang memakan banyak korban.
14) Telah
terjadi bentrokan di Poso yang memakan banyak korban yang diakhiri dengan
bentuknya Forum Komunikasi Umat Beragama (FKAUB) di Kabupaten Dati II Poso.
15) Terjadi
bentrokan antara suku dayak dan Madura (pertikaian etnis) yang juga memakan
banyak korban dari kedua belah pihak.
Referensi
0 komentar:
Posting Komentar